Rabu, 04 Mei 2011

Pembebasan Tanah tak Tuntas, Proyek PLTA Peusangan Macet

Thu, Mar 24th 2011, 17:42


Wakil Ketua Komite II DPD-RI, Ir Mursyid bersama dengan sejumlah anggota DPD-RI lainnya sedang berdialog tentang Proyek PLTA Peusangan I dan II di Kampung Sanihen, Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah, Kamis (24/3). Proyek listrik senilai Rp 2,5 triliun itu terhambat karena belum tuntasnya pembebasan tanah dan jaring apung yang terkena proyek tersebut. SERAMBI/JALIMIN

TAKENGON - Kelanjutan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Peusangan I dan II terancam macet, karena proses pembabasan tanah termasuk keramba-keramba di atas Sungai Peusangan belum tuntas.

Warga tetap bertahan dengan biaya ganti rugi sesuai dengan harga pasaran, sementara PT PLN (Persero) sebagai pemrakarsa proyek itu berpatokan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Masalah itu terungkap dalam pertemuan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)-RI dengan para petinggi PT PLN (Persero), Kamis (24/3) di Base Camp Proyek PLTA Peusangan I dan II, Kampung Burni Bius, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah.

General Manager Proyek Induk Pembangkit Listrik Jaringan (Pikitring) Sumatera Utara, Aceh dan Riau (SUAR) Bintatar Hutabarat mengatakan, belum ada titik temu tentang harga pembebabasan tanah dan keramba bagi proyek PLTA Peusangan I dan II. Dikatakan, proyek PLTA Peuasangan I dan II sudah ditender secara internasional beberapa bulan lalu dan pemenang proyek tersebut adalah Perusahaan Hyundai dari Korea Selatan dan PT PP dari Indonesia, namun, di lapangan masih ada masalah yang belum tuntas diantaranya pembebasan tanah dan keramba milik masyarakat.

Disebutkan, masalah tanah ini sangat komplek, karena tanah yang akan dibebaskan menyangkut tanah warisan, tanah yayasan, tanah milik PTPN dan hutan lindung, serta hutan konservasi. Dikatakan Bintatar, masyarakat bertahan pada Harga Umum Pasar (HUP) sementara PT PLN (Persero) membayar tanah yang dibebesakan beberapa pesen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), masyarakat juga tidak tahu besaran NJPO untuk tanahnya.

General Manager PT PLN (Persero) Pembangkit Sumatera I, Ir Sulaiman Daud mengatakan, proyek PLTA Peusangan sudah dimulai sejak tahun 1996, namun akibat konflik Aceh, proyek listrik tertunda bebarap tahun, kemudian dilunjutkan lagi tahun 2008 lalu. Proyek PLTA Peusangan I dan II didanai oleh Japan Bank International Cooporation (JBIC) sebesar Rp 2,5 triliun dengan suku bunga 0,75 persen pertahun. Pemenang Proyek, Hyundai Korea Selatan dan PT PP dari Indonesia mulai pengerjaan fisik (Civil Works) dimulai April 2011. Proyek PLTA Peusangan diperkirakan memiliki kemampuan produksi selama 30 tahun. Dari 254 hektare yang terkena proyek PLTA Peusangan, 43 hektare diantaranya belum selesai pembebasan.

Anggota DPD Asal Aceh, Ir Mursyid mengatakan, kecewa dengan sikap Pemkab Aceh Tengah yang tidak mau menghadiri pertemuan antara PT PLN (Persero) dengan anggota DPD-RI, padahal, masalah pembebasan tanah dan keramba-keramba apung di sepanjang Sungai Peusangan menjadi tugas pemerintah setempat. Dikatakannya, data tim independen Universitas Sumatera Utara (USU), jumlah keramba yang dibebaskan sebanyakl 306 buah, namun Pemkab Aceh Tengah mengklaim jumlah keramba yang harus dibebaskan sebanyak 388 buah. “Pemerintah Aceh Tengah harus serius menanngani masalah pembebasan tanah dan keramba untuk Proyek PLTA Peusangan, sehingga proyek tersebut tidak macet,” ujar Ir Mursyid yang juga putra Gayo itu.

Sebanyak orang anggota Komite II DPD-RI yang berkunjung ke Aceh Tengah yakni Bambang Susilo (Kaltim/Ketua), Ir Mursyid (Aceh/Wakil Ketua) dan sembilan anggota masing-masing, Ir Abdul Jabar Toba (Sultra), Ahmad Malonda (Sulteng), Abdul Azis (Sumsel), Abraham Lianto (NTT), M Syakur (Jambi), Jasarmen Purba (Kepri), Parlindungan Purba (Sumut), Reza Fahlevi (Sumbar) dan Ahmad Subadri anggota DPD-RI dari Provinsi Banten.(min)

Sumber : Serambinews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar